WARTAPHOTO.NET.PATI – Tim Kuliah Kerja Nyata Reguler dari Rumah (KKN RdR) Kelompok 17 Angkatan 75 UIN Walisongo usai menggelar acara Economic Sharing Session and Personal Experience melalui kanal Google Meet. Mendatangkan narasumber Naufal Hafizh Athallah salah satu mahasiswa Management Development Institute of Singapore (MDIS) acara ini bekerja sama dengan Keluarga Mahasiswa dan Pelajar Pati (KMPP) Semarang. Selasa, (17/11/2020).
“Tujuan adanya acara ini untuk mengupas bagaimana pola pendidikan yang ada di luar negeri, dan ingin tahu lebih tentang informasi perekonomian negara Singapura selama pandemi. ” ungkap Dwi Ari selaku koordinator Kelompok 17.
Realita bicara bahwa kuliah di luar negeri seperti di MDIS tidak terlalu banyak memakan waktu.
“Kuliah di luar negeri itu berbeda banget seperti di Indonesia, perbedaannya terletak pada kurikulum. Kalau kuliah di luar negeri itu langsung fokus dengan program studi kita, misal prodi Bisnis berarti hanya belajar itu, tidak ada lagi mata kuliah umum seperti matematika, pendidikan agama, bahasa, dan lainnya,” terang Naufal.
Bukan hanya itu, hal lain yang membedakan yaitu terletak pada model pembelajaran yang lebih santai di mana satu semesternya hanya ada tiga mata kuliah, dan per-mata kuliah hanya 3 jam.
“Waktu yang dibutuhkan selama kuliah di luar negeri cenderung cepat yaitu harus melewati program Diploma selama 8 bulan dan dilanjut program Sarjana selama 12 bulan. Enaknya lagi tidak ada skripsi sebagai syarat kelulusan. Kita hanya perlu memperhatikan, ketika nilai kita di atas passing grade maka sudah dinyatakan lulus, apabila belum maka hanya perlu membuat skripsi simple atau sebatas paper saja,” ujar laki-laki asal Jakenan Pati tersebut.
Hal lain yang bisa dikata unik yaitu mahasiswa Internasional di Singapura tidak diperbolehkan bekerja.
“Pemerintah Singapura menegaskan bahwa semua mahasiswa dari luar negeri yang studi di sana tidak ada kesempatan untuk bekerja part time, dengan alasan bahwa tujuan ke Singapura untuk belajar maka tugasnya hanya itu. Sangat berbeda dengan budaya di Indonesia yang mengizinkan semua mahasiswa lokal ataupun internasional untuk memilih bekerja atau berorganisasi,” tambahnya.
Selain pola pendidikan yang berbeda, lanjut Naufal, pemerintah Singapura semakin memanfaatkan teknologi untuk merekam jejak masyarakat agar rantai penyebaran covid dapat diketahui dan diputus.
“Di Singapura setiap warga yang keluar rumah dibatasi dan wajib menempelkan barcode mereka ke manapun mereka pergi, entah ke warung makan juga sudah ada fasilitas mesin barcode, dengan tujuan agar lebih mudah mengidentifikasi lokasi penyebaran virus,” tandas.
Penulis: Dwi Ari Apriliani Editor : Wartaphoto