Penulis : Imam Muhlis Ali*
Koran yang sering saya baca pada waktu remaja dulu adalah harian kompas. Saya ingat betul dulu tahun 1990 an membaca di majalah dinding Madrasah Matholi’ul Falah Kajen-Margoyoso-Pati.
Waktu itu koran Kompas menjadi ‘langganan’ tetap meskipun tidak membeli. Kompas bagi saya adalah sebuah media koran atau surat kabar yang bagus dalam segala hal. Mulai dari redakturnya, gaya penulisannya yang humanis, ilmiyah dan tentu saja mencerahkan. Rasanya saat membaca media harian Kompas saya saat remaja dulu merasa ada ‘teman’ sehati. Tanpa berlebihan saya mengatakan media Kompas adalah terdepan dalam humanisme, menjaga kemajemukan dan pluralisme bangsa, dan melihat sesuatu dari dari berbagai sisi. Kesan yang saya tangkap sejak dulu adalah Media Koran Kompas komprehensif dan tulisan-tulisannya selalu memberi solusi permasalahan bangsa ini. Sampai kinipun tak berlebihan bila membaca Koran Kompas baik lewat media konvensional maupun digital, rasanya lengkap karena menampilkan sesuatu dari berbagai perspektif tidak memihak satu golongan dan sarat data objektif.
Jakob Oetama ‘mengkritik tanpa menampar’ dan memberi solusiSaya kemudian membaca siapa pendiri dan pemimpin redaksi harian Kompas. Kebetulan saat itu tahun 1990 an saya melihat foto sang pendiri harian surat kabar Kompasa (sekarang Kompas Gramedia). Ya, Bapak Jakob Oetama (JO) bagi saya saat itu saya membayangkan seorang yang luar biasa dalam menampilkan media independen yang dipercayai masyarakat luas. Sang Jakob Oetama ‘mengkritik tanpa menampar’ pada kekuasaan dan otoritas. Dan berikutnya memberi solusi ilmiyah komprehensif. Kesan saya setelah membaca koran Kompas, ada sesuatu pencerahan yang luar biasa.
Lewat ‘ide’ Bapak Jakob Oetama, Media Kompas menampilkan pemikir islam moderatSaya menganggap media Kompas ini sangat di pengaruhi Bapak Jakob Oetama yang mempunyai ide ke Indonesiaan dan Ke bangsaan dengan cara pendekatan kemanusiaan. Banyak pemikiran-pemikiran tokoh pemikir, cendekiawan islam dan nasionalis yang di tampilkan media Kompas. Ada yang dari NU, Muhammadiyah dan pemikir islam moderat lainnya. Dulu pada saya senang membaca ulasan dari Gus Dur, Prof. Azzumardi Azzra, Prof.Nur Cholis Majied, dan lainnya. Kita akui harian media Kompas dengan tampilan tokoh pemikir islam moderat sangat di dominasi.’ide’ Bapak Jakob Oetama.
Jakob Oetama wafat meninggalkan nilai-nilai bermakna jurnalismeKini hari ini, rabu tanggal 09 September 2020 pendiri Kompas Gramedia Bapak Jakob Oetama telah wafat. Banyak tokoh-tokoh bangsa ini dengan berbagai latar belakang mengucapkan bela sungkawa. Mereka dan kita bangsa Indonesia kehilangan dengan sosok pemimpin media terkemula Kompas. Kesan saya pribadi terhadap Bapak Jakob Oetama (meskipun) hanya membaca media harian Kompas dan penyuka Kompas TV saja, yakni lewat tulisan, pemberitaannya bahwa banyak pencerahan yang menyegarkan. Khususnya saat saya membaca koran Kompas terbersit media ini luar biasa humanis dan kebangsaannya. Pikiran saya langsung mengaitkan Media Kompas dan Bapak Jakob Oetama tidak bisa dipisahkan. Bahkan tak berlebihan saya mengatakan Bapak Jakob Oetama telah berhasil menerapkan nilai-nilai jurnalis ilmiyah yang mudah di’tangkap’ khalayak umum. Filosofi bermakna media Kompas dari Bapak Jakob Oetama.
Selamat jalan Bapak Jakob Oetama, sang peletak nilai-nilai bermakna media. Semoga filosofis dan ide-ide persatuan bangsa dari almarhum Jakob Oetama dapat terus disemai dan dilestarikan anak cucu bangsa plural ini. Selamat jalan Jakob Oetama sang pengkritik santun. Selamat jalan Jakob Oetama sang peletak nilai-nilai kemanusiaan media. Tidak hanya kalangan media Kompas yang kehilangan, namun kita seluruh bangsa Indonesia merasa kehilangan sang nasionalis lewat literasi media. Semoga ide inklusif dan pencerahan persatuan bangsa Jakob Oetama terus di lestarikan anak bangsa.
09-09-2020 Ngemplak – Pati – Jawa Tengah *Pembaca Koran Kompas
Baca artikel lengkap Selamat Jalan Bapak Jakob Oetama, Sang Peletak Nilai-Nilai Kemanusiaan Media