WARTAPHOTO.NET. PATI – Pemuda Dusun Sumber, Desa Soneyan, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, menggelar acara Jagong Budaya dengan tema “Sinergi Tradisi Desa sebagai Sumber Kekuatan Desa”. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari Festival Lamporan 2025 yang digelar di Desa Soneyan.
Acara berlangsung di Omah Kuno Prapatan Pete, Dusun Sumber, yang juga dijadikan tempat pameran lukisan karya perupa dari Pati, Kudus, dan Jepara. Jagong Budaya dilaksanakan pada Minggu (6/7/2025) mulai pukul 19.00 WIB. Diskusi ini diikuti oleh kepala desa dan jajarannya, pemuda desa setempat, tokoh masyarakat, seniman, serta budayawan dari Pati dan sekitarnya.
Diskusi budaya dimoderatori oleh Arif Khilwa, Ketua Lesbumi Pati, dengan menghadirkan narasumber antara lain Jesy Segitiga, tokoh dari Kampung Budaya Piji Wetan Kudus; Ragil Haryo Yudiartanto, sejarawan muda dari Pati; serta Mbah Sunarso, sesepuh Desa Soneyan.
Dalam diskusi tersebut, potensi kebudayaan Desa Soneyan menjadi fokus utama. Para peserta disuguhi pementasan tradisional sebagai pembuka acara, yakni Gong Cik (Silat Jawa) dari Dukuh Clangap dan Tari Topeng dari Dukuh Kedung Panjang.
Mbah Sunarso menjelaskan bahwa Desa Soneyan terdiri atas tiga dukuh yang masing-masing memiliki tradisi budaya yang tetap eksis dan dijaga masyarakat.
“Tradisi Lamporan berasal dari Dukuh Sumber, Silat Jawa atau Gong Cik dari Dukuh Clangap, dan Tari Topeng dari Dukuh Kedung Panjang. Ketiga tradisi tersebut masih rutin dipertunjukkan setiap sedekah bumi di masing-masing dukuh,” ujarnya.
Selain itu, Mbah Sunarso menceritakan sejarah dan perkembangan Lamporan di Dukuh Sumber. Efendi, perwakilan pelaku Silat Jawa Gong Cik, juga membagikan sejarah awal mula silat tersebut di Dukuh Clangap hingga kini. Sedangkan Agus Syaroni menjelaskan sejarah dan perkembangan Tari Topeng di Dukuh Kedung Panjang.
Sejarawan muda Pati, Ragil Haryo Yudiartanto mengungkapkan, Lamporan awalnya muncul sekitar abad ke-19 sebagai respons terhadap wabah penyakit pascaperang.
“Lamporan menjadi simbol yang menghubungkan manusia dengan Tuhan sebagai wujud permohonan dan pengusiran wabah. Nilai budaya inilah yang penting untuk diwariskan, bukan hanya euforia semata,” kata Ragil.
Ragil juga menyampaikan bahwa potensi kebudayaan di Desa Soneyan sangat besar. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah menjalin kerja sama dengan sekolah-sekolah untuk memperkenalkan dan mengajarkan budaya tersebut kepada generasi muda, termasuk melalui kajian dan penelitian yang dapat didiseminasikan secara luas.
Menurutnya, budaya yang ada di Soneyan sebaiknya tidak dipaksakan keluar, melainkan membiarkan orang luar datang untuk menikmati dan mempelajari sehingga dapat menjadi destinasi wisata budaya.
Jesy Segitiga dari Kampung Budaya Piji Wetan, Kudus, membagikan pengalamannya dalam membangun kampung budaya sebagai referensi bagi pemuda Soneyan. “Kami memilih tidak menjadi desa wisata, karena dari 30 desa wisata di Kudus hanya lima yang aktif. Kami menamainya Kampung Budaya agar bisa lebih mudah diterima oleh masyarakat,” ujarnya.
Jesy menambahkan bahwa warisan budaya harus disesuaikan dengan perkembangan zaman agar dapat diterima oleh anak muda. Ia mencontohkan penggunaan bahasa dan media yang dekat dengan generasi muda agar budaya tetap hidup dan tidak hilang.
“Apa yang kami lakukan di Piji Wetan bisa menjadi contoh bagi desa lain,” tuturnya.
Jesy pun memuji potensi Desa Soneyan yang dinilainya sangat luar biasa dan menjadi ladang kreativitas.
“Saya melihat banyak upaya penggalian dan pengembangan budaya yang dapat diterima oleh semua kalangan, baik tua maupun muda,” pungkasnya.
(*/wartaphoto).