Seputarmuria.com, PATI – JAWA TENGAH – Dalam rangka menyambut Ramadhan sekaligus mengembangkan literasi budaya, Komunitas Penggerak Literasi Litbar telah bekerja sama dengan beberapa sekolah dan pondok pesantren untuk mengadakan acara meet and greet atau seminar dengan tema Islam di Eropa.
Pondok pesantren dan sekolah yang dimaksud adalah SMA N 2 Pati, SMA N 3 Pati, SMPII Luqman Al Hakim Kudus, dan Ittihadul Muwahiddin Pati.
“Kami mengajak empat orang Prancis berkeliling di Bumi Mina Tani guna membagikan pengalaman mereka dalam berislam di Eropa. Keempat orang Prancis itu adalah Quentin Choquer, Youness Boudjaadar, Théo Averly, Salah-Eddine Blisset Boudjadaar,” ujar Yoyok Dwi Prastyo, Ketua Komunitas Penggerak Literasi Litbar.
Selama 4 hari, Komunitas Penggerak Literasi Litbar telah membawa 4 narasumber dengan latar belakang yang tak sama. Dua narasumber berdararah Aljazair (Youness Boudjaadar dan Salah-Eddine Blisset Boudjadaar), 1 dengan campuran Prancis-Italia (Quentin Choquer), serta seorang lagi berdarah Prancis-Spanyol (Théo Averly).
“Mereka banyak membagi tentang pengalaman hidup, motivasi, bahkan hal-hal lucu selama mempraktikkan agama Islam”, imbuh Yoyok.
Yoyok menyebut, ketika mendengar keempat orang Prancis itu bercerita, audiensi pasti akan sangat merasakan, bahwa menjadi muslim di Indonesia ternyata begitu mudah dan indah.
“Begitu banyak kesempatan dan toleransi untuk mempraktikkan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, agaknya tak berlebihan jika kita harus meningkatkan rasa syukur kita ke petala tak hingga atas segala nikmat ini,” pungkas Yoyok.
Adapun, 2 orang Prancis keturunan Aljazair membagi pengalaman betapa sulit berislam di Prancis. Sebab, masih terdapat islamophibia, la cite, rasisme, stigma negatif dan hal lain yang menjadikan kehidupan beragama mereka semakin menantang.
Yoyok menilai, meski demikian beruntung sekali ada teman, keluarga, dan orang-orang yang berpikiran terbuka yang selalu mendukung.
“1 muallaf dengan darah Prancis-Italia, Quentin Choquer berkisah tentang bagaimana di usia 17 tahun ia telah mengalami perang batin dan mulai meragukan pondasi keimanan keluarganya. Setelah mengalami perjalanan berliku dan tantangan, ia pun memantapkan diri untuk bersyahadah. Logikanya menuntunnya pada jalan hidayah”, jelasnya.
Sementara, narasumber berdarah Prancis-Spanyol, Theo Averly seorang narasumber nonmuslim yang menyampaikan pengalaman berat menjadi muslim di Prancis. Hukum Prancis tak melarang orang beribadah, namun masyarakatnya memiliki pemikiran yang berbeda.
“Pada akhirnya, orang-orang yang berpikiran terbuka dan logislah yang dapat merasakan betapa Islam sesungguhnya membawa rahmat”, pungkasnya. (Er)
The post Sambut Ramadhan Melalui Literasi Budaya Bareng Bule, Ajak Bersyukur Mudahnya Jadi Muslim di Indonesia appeared first on Seputar Muria.