Kreativitas di Tengah Pandemi, PPDI Pati Produksi Batik Ciprat

pada Jum'at, 06 Agustus 2021
  • Berita Online

Seputarmuria.com, PATI – Di tengah pelaksanaan PPKM level 3 tidak membuat para anggota Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Pati berpangku-tangan.

Dengan bermodalkan niat dan kreativitas untuk belajar, mereka dapat menghasilkan karya yang menarik dan menghasilkan rupiah yaitu batik ciprat. Ide ini memang mereka kembangkan selama terjadi pandemi Covid – 19.

Bahkan karya para penyandang disabilitas di Pati ini mendapat penghargaan Juara 3 dalam ajang Pati Innovation Award 2021 kategori umum belum lama ini.

Adapun batik ciprat merupakan menampilkan motif bintik-bintik cipratan yang abstrak, tapi menarik untuk dipandang. Motif batik dihasilkan dari cipratan malam/lilin pada kain.

Ketua PPDI Pati Suratno mengatakan, ia dan rekan-rekannya mulai belajar membatik pada 2019 lalu. Awalnya, mereka hanya belajar membatik tulis. Menggambar motif dengan mencanting.

“Awal pandemi, karena satu dan lain hal, kami sempat berhenti membatik agak lama. Kemudian saya matur (bilang) ke Pak Dandim dan dikasih tempat di sini (Sekretariat PPDI Pati Jalan P Sudirman). Akhirnya kami lanjutkan membatik sampai sekarang,” kata dia ketika diwawancarai, Kamis (2/8/2021).

Pihaknya mengaku telah memulai pembuatan batik ciprat pada 2020. Alasannya ialah batik tulis sudah banyak produsennya di Pati. Ia dan rekan-rekan penyandang disabilitas ingin menghasilkan sesuatu yang unik.

“Akhirnya kami beralih ke ciprat, sebab setahu saya se-eks karesidenan Pati belum ada batik ciprat. Ada delapan orang anggota PPDI yang rutin membatik. Semuanya penyandang disabilitas tunadaksa”, jelasnya.

Diungkapnya bahwa kelebihan batik ciprat itu adalah tidak memakai kuas untuk menciprat. Melainkan menggunakan sabut kelapa dan akar alang-alang yang diikat.

Adapun proses pembuatan batik ciprat dimulai dengan membentangkan kain dengan rangka bambu. Kemudian malam atau lilin yang sudah dipanaskan di kompor diciprat-cipratkan menggunakan sabut kelapa dan akar alang-alang ke kain tersebut. Selanjutnya, kain didiamkan 15 menit. Kemudian dilakukan pewarnaan atau blok warna menggunakan spons.

“Lalu dikunci menggunakan water glass dan didiamkan 24 jam. Selanjutnya dilorot (melunturkan lilin menggunakan air panas), dijemur, seterika, dan jadi,” paparnya.

Dalam melakukan pencipratan untuk membentuk motif hanya asal-asalan. Namun, seiring berjalannya waktu ada teknik khusus yang ia lakukan sehingga motif yang terbentuk lebih bagus.

Sehari, Suratno dan rekan-rekannya bisa menghasilkan 5 sampai 10 lembar batik ciprat satu warna. Selain itu mereka juga membuat batik ciprat dua warna. Namun produksinya lebih lama, yakni 10 lembar untuk waktu pembuatan 20 hari.

Dalam proses produksinya, ia bersama rekan – rekan tak lupa untuk selalu menerapkan protokol kesehatan ketat.

“Batik ciprat dua warna memang lebih lama karena dua kali proses. Kami juga buat kombinasi batik ciprat dan tulis. Itu lebih sulit dan lebih lama lagi karena kami harus mencanting dulu sebelum menciprat. Satu lembar kain bisa memakan waktu empat hari,” kata dia.

Batik ciprat produksi PPDI Pati dilabeli “Difabel Pati Mandiri”. Harga jualnya Rp 150 ribu per potong untuk jenis satu warna. Adapun jenis dua warna Rp 15 ribu per potong. Sedangkan untuk jenis kombinasi ciprat dan tulis dibanderol Rp 250 ribu per potong.

Suratno mengatakan, batik ciprat karya PPDI Pati ini sudah terjual sampai ke pembeli di Palembang, Jakarta, dan sejumlah daerah di Kalimantan. Tak hanya kain lembaran, PPDI Pati juga memproduksi batik ciprat dalam bentuk sarung, baju, dan masker. (Er)

The post Kreativitas di Tengah Pandemi, PPDI Pati Produksi Batik Ciprat appeared first on Seputar Muria.