[caption id="attachment_219190" align="alignleft" width="880"] Ngaji Budaya Suluk Maleman. (MURIANEWS/Istimewa)[/caption] MURIANEWS, Pati - Pancasila yang merupakan ideologi negara Indonesia, tidak pernah selesai untuk diinterpretasikan. Bahkan semakin banyak orang yang menggali nilai Pancasila, kandungan keagamannya kian kentara. Dr Ilyas yang merupakan budayawan sekaligus dosen menyebut, setiap orang yang beragama dengan baik dapat dipastikan seorang Pancasilais. Sebab, sejarah dari penyusunan naskah Pancasila tersebut melalui proses panjang yang menjadi kunci dari kebangsaan dan keagamaan di Indonesia. “Semua yang ada di Pancasila itu sudah diajarkan di agama. Jadi ilmu beragama inilah yang perlu dikuatkan,” tegasnya dalam Ngaji NgaAllah Suluk Maleman edisi 113 yang dihelat secara virtual, Sabtu (22/5/2021) malam. Kendati demikian, lanjutnya, orang terkadang memberikan pemaknaan yang diskriminatif terhadap Pancasila itu sendiri. Bahkan Pancasila tidak ada hubungannya dengan nilai keagamaan yang ada di Bumi Nusantara. Sehingga dunia pendidikan pun kemudian menjadikan Pancasila sebagai mata pelajaran sekolah. Padahal, yang perlu dikuatkan sebenarnya adalah pelajaran keagamaan kepada peserta didik. Bahkan jika penanaman antikorupsi maupun pendidikan karakter ingin dikuatkan maka bisa melalui jalan ilmu beragama. Namun nilai beragama itu sekarang ini justru belum banyak digali. “Munculnya gerakan ngaji budaya seperi Suluk Maleman maupun Gambang Syafaat menjadi bukti. Banyak masyarakat yang menemukan sesuatu, yang menenangkan hatinya dan menjawab kegelisahan yang tak bisa dijawab di kampus-kampus,” ujarnya. Ironisnya, seringkali pendidikan formal justru mengarah pada kapitalisasi pendidikan. Banyak jurusan yang mengarah pada sisi pencarian pekerjaan saja bukan menambah pengetahuan tentang lingkungan dan diri. Sistem pendidikan justru diseragamkan. “Ijazah seolah menjadi kunci masuk ke dunia pekerjaan. Maka dari itu banyak yang kuliah hanya untuk mencari ijazah bukan mencari ilmu,” ujarnya. Sementara M. Khoiruddin pembicara yang juga hadir dalam acara itu menambahi bahwa masalah pendidikan kita bukan hanya salah prioritas, tapi juga salah pendekatan. Penyeragaman sistem sekolah membuat anak tidak berkembang sesuai bakatnya, tapi dikembangkan sesuai kehendak kurikulum. "Akibatnya tak ada anak petani yang bercita-cita jadi petani, atau anak pelaut bercita-cita jadi pelaut misalnya," terangnya. Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman menyebut perilaku seperti itu menjadi salah contoh betapa manusia begitu mudah lupa pada kesejatian. Dunia cenderung membuat manusia menjadi lupa. Hal itulah yang membuat tatanan dunia menjadi carut marut. “Manusia banyak yang dibuat lupa pada persoalan yang utama lantaran disibukkan dengan persoalan yang tidak penting,” terangnya. Anis Sholeh Ba’asyin menyebut, untuk mengatasi masalah itu, manusia sebenarnya bisa mencontoh sifat Rasulullah, yakni shidiq, amanah, tabligh, dan fatonah. Dari situ lah manusia diajari bahwa hal pertama adalah bersikap jujur, benar. "Untuk menemukan sifat ini orang harus mengenali dirinya; dan untuk mengenali diri orang juga harus mengenali pengasuhnya, yakni Allah SWT. Setelah menemukan sifat shidiq, barulah mungkin orang menemukan sifat amanah atau sifat terpercaya dalam relasi kemasyarakatannya,” terangnya. Dari amanah itulah yang nantinya membuat manusia bisa menyampaikan sesuatu ke masyarakat. Ketika sudah dipercaya maka apa yang disampaikan akan diterima dengan baik. Sifat tabligh, yang muncul dari hubungan manusia dengan alam malakut. Setelah itu barulah mungkin orang menemukan sifat fathonah, kecerdasan yang luar biasa. “Namun sekarang ini banyak yang terbalik, anak-anak diajari pentingnya kecerdasan, dengan berhitung dan pelajaran lainnya; tanpa lebih dahulu didasari bagaimana mengenali diri dan membangun kejujuran,” pungkasnya. Reporter: Cholis Anwar Editor: Ali Muntoha