[caption id="attachment_197165" align="alignleft" width="880"] Sejumlah kapal bersandar di sepanjang Sungai Juwana (MURIANEWS/Cholis Anwar)[/caption] MURIANEWS, Pati - Dalam beberapa bulan ke depan, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan memberlakukan pemungutan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) pascaproduksi. Hal itu diperuntukkan bagi kapal ukuran di atas 30 GT. Para nelayan di Kabupaten Pati pun merasa keberatan akan diberlakukannya PNBP tersebut. Apalagi jumlahnya cukup tinggi, yakni 10 persen dari pendapatan kotor. Wakil ketua Paguyuban Mitra Nelayan Sejahtera Pati Siswo Purnomo mengatakan, sumber daya ikan tidak sama dengan sumber daya alam lainnya. Sumber daya ikan apabila dikelola dengan benar akan lestari, dan tidak akan habis. Sementara sumber daya alam yang lainnya, setelah dieksploitasi akan habis dan berdampak tehadap lingkungan. Kalau pun tetap dikenakan PNBP paskaproduksi, seharusnya juga menerapkan prinsip berkeadilan. Semua hasil tangkapan ikan dari laut harus dikenakan PNBP. "Kalau sumber daya ikan dikenakan PNBP, seharusnya setiap orang yang mengambil ikan juga dikenakan PNBP, apakah itu kapal kecil, kapal sedang, maupun kapal besar. Namun pengenaanya harus berjenjang. Kapal kecil dikenakan PNBP lebih kecil dan seterusnya," kata Purnomo, Selasa (18/5/2021). Dia juga mengaku, pengenaan PNBP Praproduksi seperti saat ini, diakuinya lebih tepat. Sehingga tidak perlu lagi ada PNBP pascaproduksi. Lantara itu sangat memberatkan nelayan. Apalagi rantai perekonomian nelayan ini cukup panjang. "Sektor perikanan tangkap tidak seharusnya dibebankan PNBP yang tinggi. Mengingat, rantai ekonomi yang panjang, mulai dari nelayan ABK, pedagang ikan, industri pemindang atau pengolah ikan lain, buruh bongkar, pemilik kapal dan masih banyak lagi orang yang bergantung pada usaha perikanan tangkap ini," terangnya. Di samping itu, hingga saat ini pemerintah juga belum bisa memenuhi insfrastruktur yang sama. Seperti untuk wilayah Indonesia timur, biaya operasional tinggi namun harga ikan lebih murah. Reporter: Cholis Anwar Editor: Ali Muntoha